
Sementara itu, menyinggung perang mata uang antara Beijing dan Washington, Menteri Keuangan Jerman Wolfgang Schauble menegaskan, "AS tidak bisa menuding China melakukan intervensi dalam menetapkan nilai tukar yuan lantas berupaya melemahkan dollar dengan cara mencetak uang dan menyuntikkannya ke pasar".
Senada dengan negara-negara utama G20, China dan Rusia pun menyebut langkah AS itu sebagai tindakan munafik. Mengomentari isu tersebut, Uri Dadush mantan direktur perdagangan internasional Bank Dunia menuturkan, "Banyak negara yang menyebut langkah AS itu sebagai upaya untuk melemahkan nilai dolar. Sebab melemahnya nilai dolar memiliki artian pembelian komoditas AS oleh warga negara-negara lain sebagaimana yang diungkapkan Obama yang ingin meningkatkan ekspor AS sebesar dua kali lipat dalam jangka lima tahun ke depan". Analis ekonomi asal Perancis itu menambahkan, "Menurunnya nilai tukar dolar bisa saja bakal meningkatkan ekspor AS".
Masih soal perang mata uang antarnegara-negara besar, Jean Claude Trichet, Presiden Bank Sentral Eropa menandaskan, negara-negara besar anggota G20 telah mulai bersaing ketat untuk menurunkan nilai mata uang dan meningkatkan daya saing di kancah pasar internasional. Masalah inilah yang kian mempertajam perang mata uang. Ia menekankan, "Para pemimpin Kelompok G20 dalam sidang kali ini harus menetapkan suatu mekanisme untuk menghadapi krisis tersebut. Fluktuasi nilai mata uang yang lebih luas di pasar internasional harus dicegah. Meningkatnya fluktuasi bisa menjadi ancaman serius bagi pertumbuhan dan stabilitas perekonomian dunia.
Sedemikian santernya kritikan terhadap kebijakan keuangan AS itu, sampai-sampai mantan Kepala Bank Sentral AS Alan Greenspan dalam wawancaranya dengan harian Financial Times menyatakan bahwa berlanjutnya kebijakan AS untuk melemahkan nilai tukar dolar bakal memperparah konflik kurs di kalangan negara-negara G20. (IRIB/LV)
0 komentar:
Posting Komentar