Kamis, 11 November 2010

Zionis Provokasi Eropa Represif Pada Muslim




 
Nadaf Hahtsani
Belanda, Perancis, Jerman dan Negara-negara lain di Eropa mulai mengenal sejauh mana bahaya dominasi Islam di sana. Telah tiba saatnya bagi mereka untuk melakukan sesuatu. Ketika mereka mulai tidak simpati terhadap kaum muslimin di sana, seolah untuk meyakinkan kita, bahwa tidak ada jalan lagi untuk berdamai untuk bangsa Arab. Padahal sebagian besar penelitian menunjukan adanya perubahan paradigm politik yang dihasilkan dari kondisi tersebut. Sejak saat ini, kita harus mengubah permainan dengan dunia Arab, tukasnya. Demikianlah sikap terakhir sebagian Negara Eropa yang mulai menetang kebangkitan kaum muslimin di sana.
Silih berganti, kampanye demi kampanye penolakan terhadap gerakan Islam yang semuanya menjelaskan paa kita tentang gambaran yang sama bahwa, “Eropa telah mengenal bahayanya hegemoni Islam” yang mengerucutkan pada suatu kesimpulan, bahwa sudah saatnya melakukan sesuatu.

Buah dari pengakuan ini sangat jelas, meningkatnya sentiment anti Islam di beberapa Negara Eropa. Di Belanda misalnya, ketika partai Geert Wilders menang dalam pemilu Belanda dengan mengantongi seperempat suara pemilih. Hal serupa terjadi di Austria, Belgia hingga Scandinavia. Laporan juga menyebutkan, Perancis menolak penggunaan cadar bagi perempun Perancis. Di Swiss masyarakat menolak kumandang adzan di wilayahnya.
Penolakan terhadap keragaman, pada satu sisi menggambarkan perubahan paradigm Eropa. Akan tetapi, tampak jelas bahwa koreksi Markel yang menolak bersosialisasi dengan Islam, tidak akan lama bertahan. Markel dan semisalnya, mulai paham apa yang didengungkan sejumlah pihak di Eropa sejak beberapa tahun terakhir, bahwa kebanyakan kaum muslimin atau bangsa Arab tidak komitmen dengan gaya barat, bahkan mereka sangat konsen untuk menerapkan masa-masa kegelapan bagi Eropa.
Kalau di Eropa mulai menarik suatu kesimpulan, di beberapa bagian Belanda bahkan sudah menerapkan perseteruan, tanpa khawatir adanya isyarat perdamaian. Bagi Markel dan sejumlah politisi lain, kesimpulan ini mengkristal pada satu konklusi untuk menghentikan imigran Arab dan perkembangan Islam di sana. Mereka juga punya permusuhan hakiki terhadap dunia Arab yag semakin kentara.
Di Amerika Serikat, kaum muslimin dan bangsa Arab tidak dipandang sebagai dua bangsa, secara khusus. Demikian juga di pemerintahan mayoritas mendukung keberadaan kaum muslimin. Perubahan tidak adanya dukungan terhadap bangsa Arab ditinjau dari sisi perubahan dukungan terhadab bangsa Israel yang masih stabil seperti sedia kala.
Di bawah pemerintahan Obama, Amerika seolah berlomba dengan Uni Eropa dalam memahami betapa bahayanya Islam untuk mereka. Perubahan lebih besar dalam hal ini,  mendorong rival-rival kaum muslimin tambah mendukung Israel.
Apa yang membedakan kedua sisi ini adalah pemahaman mereka terhadap sejauh mana bahaya yang mengancam peradaban barat, yahudi serta Kristen, mengingat semua luasnya kecendrungan dunia terhadap Islam. Semakin banyak orang yang paham, bahwa Ahmadi Nejad bukanlah masalah bagi kita saja. Kecenderungan ini menunjukan dukungan terhadap Israel menjadi semakin kuat, terutama dari kalngan ultra kanan Eropa yang saat itu dianggap sebagai pihak anti Smith, sebagaimana terjadi di Australia, misalnya.
Di pihak lain, politisi Eropa semisal Wilders dari Belanda, justru lebih keras ketimbang perdana meteri Israel dari kalangan ultra kanan. Eropa akhirnya bangkit, walau terlambat, namun mereka mulai bereaksi.

0 komentar:

Posting Komentar