Ahlul-bayt

Ahlul kisa : Dalam pembahasan sebelumnya kami pernah menyatakan bahwa Ahlul Bait dalam Al Ahzab ayat 33 adalah Rasulullah SAW, Sayyidah Fatimah AS, Imam Ali AS, Imam Hasan AS dan Imam Husain AS. Merekalah Ahlul Bait yang dimaksud dan bukan seperti yang dinyatakan oleh sebagian orang bahwa Ahlul Bait tersebut adalah istri-istri Nabi.
إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا
Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya. (QS : Al Ahzab 33)
Kali ini kami hanya ingin menunjukkan bahwa dalil-dalil yang shahih telah menetapkan dan mengkhususkan bahwa ayat di atas ditujukan kepada mereka yang terkenal dengan sebutan Ahlul Kisa’ yaitu Rasulullah SAW, Sayyidah Fatimah AS, Imam Ali AS, Imam Hasan AS dan Imam Husain AS.
Dalam Sunan Tirmidzi hadis no 3205 dalam Shahih Sunan Tirmidzi Syaikh Al Albani
عن عمر بن أبي سلمة ربيب النبي صلى الله عليه و سلم قال لما نزلت هذه الآية على النبي صلى الله عليه و سلم { إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا } في بيت أم سلمة فدعا فاطمة و حسنا و حسينا فجللهم بكساء و علي خلف ظهره فجللهم بكساء ثم قال اللهم هؤلاء أهل بيتي فأذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهيرا قالت أم سلمة وأنا معهم يا نبي الله ؟ قال أنت على مكانك وأنت على خير
Dari Umar bin Abi Salamah, anak tiri Nabi SAW yang berkata “Ayat ini turun kepada Nabi SAW {Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya.} di rumah Ummu Salamah, kemudian Nabi SAW memanggil Fatimah, Hasan dan Husain dan menutup Mereka dengan kain dan Ali berada di belakang Nabi SAW, Beliau juga menutupinya dengan kain. Kemudian Beliau SAW berkata “ Ya Allah Merekalah Ahlul BaitKu maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah Mereka sesuci-sucinya. Ummu Salamah berkata “Apakah Aku bersama Mereka, Ya Nabi Allah?. Beliau berkata “Kamu tetap pada kedudukanmu sendiri dan kamu dalam kebaikan”.
Hadis ini menjelaskan bahwa Ayat yang saat itu turun di rumah Ummu Salamah RA hanya penggalan Al Ahzab 33 yang berbunyi {Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya.}. Ayat ini dalam hadis di atas disebutkan bahwa ditujukan untuk Rasulullah SAW, Sayyidah Fatimah AS, Imam Ali AS, Imam Hasan AS dan Imam Husain AS. Ayat ini tidak turun untuk istri-istri Nabi SAW. Buktinya adalah sebagai berikut
Perhatikan Al Ahzab ayat 32,33 dan 34 berikut
Ayat ke-32 berbunyi begini
Hai Istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.
Ayat ke-33 berbunyi begini
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan RasulNya. Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya.
Ayat ke-34 berbunyi begini
Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah. Sesungguhnya Allah adalah Maha lembut lagi Maha mengetahui.
Yang dicetak tebal adalah bagian yang khusus untuk Ahlul Kisa’ dan bukan istri-istri Nabi SAW. Sehingga jika digabungkan maka hasilnya begini
Bagian yang untuk Istri-istri Nabi SAW adalah berikut
Hai Istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik. Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan RasulNya. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah. Sesungguhnya Allah adalah Maha lembut lagi Maha mengetahui.
Sedangkan bagian untuk Ahlul Kisa’ adalah berikut
Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya.
Kedua bagian ini diturunkan secara terpisah dan hadis Sunan Tirmidzi di atas adalah bukti jelas bahwa kedua bagian ini turun terpisah. Mari kita buat Rekontruksi.
Hipotesis Null
Seandainya memang kedua bagian tersebut turun bersamaan maka bunyinya akan seperti ini.
Hai Istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik. Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan RasulNya. Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah. Sesungguhnya Allah adalah Maha lembut lagi Maha mengetahui.
Mari kita andaikan bahwa ayat tersebut turun dengan bunyi seperti ini di rumah Ummu Salamah
Verifikasi
Dengan menggunakan hadis Sunan Tirmidzi di atas sebagai alat penguji maka ada hal yang aneh disini yaitu
• Hadis Sunan Tirmidzi hanya menyebutkan bahwa ayat yang turun saat itu hanya bagian yang ini saja Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya. {Tidak sesuai dengan hipotesis}
• Hadis Sunan Tirmidzi menyebutkan bahwa tepat ketika ayat tersebut turun Rasulullah SAW anehnya tidak memanggil Istri-istri Beliau. Bukankah ayat tersebut turun di rumah Ummu Salamah dan istri-istri Beliau jelas punya rumah sendiri maka jika memang ayat tersebut bunyinya seperti itu dan tertuju untuk istri-istri Beliau maka sudah pasti Beliau akan langsung memanggil Istri-istri Beliau yang lain. Hadis Sunan Tirmidzi malah menunjukkan hal yang berbeda yaitu justru Rasulullah SAW memanggil orang lain yang bukan istriNya yaitu Sayyidah Fatimah AS, Imam Ali AS, Imam Hasan AS dan Imam Husain AS. {Tidak sesuai dengan hipotesisnya}
• Hadis Sunan Tirmidzi menunjukkan Tepat setelah ayat tersebut turun Ummu Salamah berkata “Apakah Aku bersama Mereka, Ya Nabi Allah?. Hal ini adalah aneh dan sangat tidak sinkron karena Apalagi yang perlu ditanyakan, apakah kata-kata awal pada ayat ke-32 Hai Istri-istri Nabi masih kurang jelas sehingga Ummu Salamah perlu bertanya kepada Nabi. Jika memang ayat tersebut ditujukan untuk istri-istri Nabi maka Ummu Salamah tidak akan bertanya apapun. Ya sudah jelas kan kalau beliau adalah istri Nabi. Apakah Ummu Salamah tidak memahami kata-kata yang mudah seperti itu?. Adanya pertanyaan tersebut telah menggugurkan postulat awal bahwa ayat tersebut diturunkan untuk Istri-istri Nabi SAW. {Tidak sesuai dengan hipotesis}
Hipotesis Tandingan
Ayat Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya turun sendiri untuk Rasulullah SAW, Sayyidah Fatimah AS, Imam Ali AS, Imam Hasan AS dan Imam Husain AS.
Verifikasi
Dengan menggunakan hadis Sunan Tirmidzi sebagai penguji maka didapatkan sebagai berikut
• Hadis Sunan Tirmidzi membuktikan bahwa bunyi ayat yang turun di rumah Ummu Salamah hanyalah ini Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya. {Sesuai dengan hipotesisnya}
• Dalam hadis Sunan Tirmidzi ketika ayat ini turun Rasulullah SAW memanggil Sayyidah Fatimah AS, Imam Ali AS, Imam Hasan AS dan Imam Husain AS kemudian menutupinya dengan kain. {Sesuai dengan hipotesisnya}
• Hadis Sunan Tirmidzi menunjukkan Tepat setelah ayat tersebut turun dan Rasul SAW menyelimuti Ahlul Kisa’ maka Ummu Salamah berkata “Apakah Aku bersama Mereka, Ya Nabi Allah?. Hal ini dapat dimengerti karena pada bunyi ayat yang turun itu memang tidak disebutkan kata istri-istri Nabi sehingga Ummu Salamah bertanya apakah Ia bersama mereka sebagai yang dituju dalam ayat tersebut.{Sesuai dengan hipotesisnya bahwa ayat tersebut terpisah dengan ayat sebelum dan sesudahnya yang berbicara tentang Istri-istri Nabi}.
Dapat dilihat bahwa Hadis Sunan Tirmidzi itu justru membuktikan kebenaran hipotesis tandingan bahwa Ayat tersebut khusus untuk Ahlul Kisa’.
Syubhat Para Penentang
Ada sebagian orang yang menentang pengkhususan Ayat Tathhir untuk Ahlul Kisa’. Mereka mengatakan bahwa ayat tersebut awalnya turun khusus untuk istri-istri Nabi kemudian di perluas kepada Ahlul Kisa’. Kekeliruan mereka telah ditunjukkan oleh Hadis Sunan Tirmidzi di atas dan hadis-hadis lain yang mengkhususkan Ayat Tathhir untuk Ahlul Kisa’(hadis ini akan ditunjukkan nanti). Kami telah membuktikan bahwa Hadis Shahih Sunan Tirmidzi di atas justru menyelisihi pernyataan mereka bahwa ayat tersebut turun untuk istri-istri Nabi SAW.
Mereka yang menentang tersebut mengajukan syubhat bahwa adanya doa Rasulullah SAW justru membuktikan bahwa ayat tersebut tidak tertuju untuk mereka. Untuk apa lagi di doakan jika memang ayat tersebut untuk Ahlul Kisa’. Adanya doa menunjukkan bahwa mereka sebelumnya tidak termasuk dalam ayat Tathhir sehingga Rasul SAW berdoa agar Ahlul Kisa’ bisa ikut masuk ke dalam ayat tersebut.
Syubhat ini mengakar pada prakonsepsi bahwa ayat tersebut turun untuk Istri-istri Nabi SAW. Seandainya mereka benar-benar berpegang pada teks hadis Sunan Tirmidzi maka tidak akan muncul syubhat seperti ini.
Perhatikan, pada mulanya ayat tersebut turun dengan bunyi seperti ini Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya. Ingat hanya kata-kata ini, dan kalau mereka para penentang itu berpegang pada hadis Shahih Sunan Tirmidzi di atas maka kami katakan siapa yang dituju dengan kata-kata ini?. Adakah mereka bisa mengatakannya atau menjawab. Kalau mereka menjawab ayat itu untuk istri-istri Nabi SAW, maka dari mana mereka bisa tahu?. Secara ayat itu hanya berbunyi Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya. Kalau mereka mengatakan dari ayat sebelum ini(yang ada kata-kata istri Nabi) maka sudah ditunjukkan bahwa Hadis Shahih Sunan Tirmidzi di atas menentang anggapan mereka. Bukankah telah dibuktikan bahwa ayat sebelumnya itu terpisah dari ayat yang kita bicarakan ini.
Maka mari kembali pada Hadis Sunan Tirmidzi di atas. Untuk mengetahui siapa yang dituju oleh ayat ini maka tidak bisa tidak, hanya bersandar pada keterangan Rasulullah SAW. Tepat setelah ayat ini turun maka tugas Beliaulah untuk menjelaskan siapa Ahlul Bait yang dimaksud. Dan Hadis Sunan Tirmidzi di atas menunjukkan siapa Ahlul bait dalam ayat yang baru turun Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya.
Tepat setelah ayat ini turun maka Rasulullah SAW menunjukkan Siapa Ahlul bait yang dimaksud.
• Beliau langsung memanggil siapa itu orang-orang yang dimaksud Ahlul Bait
• Beliau mengkhususkannya dengan Perbuatan yaitu menyelimuti orang-orang tersebut dengan kain. Tindakan Rasulullah SAW menyelimuti dengan kain ini hanya bisa dipahami sebagai pengkhususan.
• Setelah diselimuti maka Beliau kembali menegaskan dengan kata-kata yang jelas yaitu Ya Allah Merekalah Ahlul BaitKu maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah Mereka sesuci-sucinya. Kata-kata ini adalah keputusan final siapa Ahlul Bait yang dimaksud dan Rasulullah SAW menggunakan lafal maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah Mereka sesuci-sucinya untuk menunjukkan kepada siapapun yang mendengarnya bahwa inilah Ahlul Bait yang tertera dalam kata-kata Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya.
Oleh karena itu tepat setelah Ummu Salamah menyaksikan penyelimutan itu dan mendengar kata-kata Rasulullah SAW, beliau langsung mengerti bahwa merekalah yang dimaksud dalam ayat tersebut dan Ummu Salamah berharap ikut bersama mereka yang dituju oleh ayat tersebut dengan bertanya kepada Rasul SAW ”Apakah Aku bersama Mereka, Ya Nabi Allah?”. Jadi Doa itu justru menjadi penegas yang kuat sebagai pengkhususan Ahlul Bait pada Ahlul Kisa’. Dan ini akan dipahami jika memang berpegang pada teks-teks hadis Sunan Tirmidzi di atas.
Para penentang itu mengajukan syubhat yang lain bahwa jawaban Rasulullah SAW terhadap pertanyaan Ummu Salamah “Kamu tetap pada kedudukanmu sendiri dan kamu dalam kebaikan” adalah petunjuk bahwa Rasulullah SAW menyadari bahwa Ummu Salamah termasuk dalam ayat tersebut sehingga beliau berkata ”kamu dalam kebaikan”.
Syubhat ini terlihat jelas adalah sebuah pembenaran. Lihat pertanyaan Ummu Salamah adalah ”Apakah Aku bersama Mereka, Ya Nabi Allah?” . Dan Jawaban pertanyaan ini hanya ada dua yaitu
• Ummu Salamah bersama Mereka
• Ummu Salamah tidak bersama Mereka
Jawaban Rasulullah SAW adalah “Kamu tetap pada kedudukanmu sendiri dan kamu dalam kebaikan”. Mereka para penentang itu mengatakan bahwa kata-kata Rasul SAW ini adalah isyarat bahwa Ummu Salamah memang Ahlul Bait yang dimaksud. Bisa dikatakan ini hanyalah klaim yang langsung ditetapkan berdasarkan konsepsi bahwa Ahlul Bait disini adalah istri-istri Nabi. Sama seperti sebelumnya jika mereka memang berpegang pada teks hadis ini maka dapat diketahui bahwa pernyataan mereka itu jelas dipaksakan. Bagaimana Mereka bisa mengartikan bahwa kata-kata “Kamu tetap pada kedudukanmu sendiri dan kamu dalam kebaikan” mengandung makna bahwa Ummu Salamah bersama Mereka adalah Ahlul Bait yang tertuju dalam ayat ini?.
Mari kita lihat kata-kata itu “Kamu tetap pada kedudukanmu sendiri” Jika dengan kata-kata ini saja maka yang dimaksud adalah Ummu Salamah tetap di tempatnya sendiri atau punya kedudukan sendiri. Kedudukan itu ada dua kemungkinan
• Bersama Mereka Ahlul Bait
• Tidak bersama Mereka Ahlul Bait
Hadis Sunan Tirmidzi di atas menunjukkan apa yang dilakukan Rasul SAW ketika ayat Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya ini turun. Ingat kata-kata ini saja tidak menunjukkan siapa Ahlul Bait yang dimaksud, sekali lagi kami tekankan disitulah Peran Rasulullah SAW. Dalam hadis Sunan Tirmidzi di atas Rasul telah melakukan pengkhususan dengan perkataan dan perbuatan mengenai siapa Ahlul Bait tersebut. Jika memang kata-kata “Kamu tetap pada kedudukanmu sendiri” memiliki arti bahwa Ummu Salamah selaku istri Nabi adalah Ahlul Bait bersama mereka maka Rasulullah SAW akan menetapkan hal yang sama yang ia lakukan pada Ahlul Kisa’ sebelumnya. Maka Beliau akan
• Memanggil Istri-istriNya
• Menyelimuti Mereka Istri-istriNya dengan kain
• Mengatakan dengan kata-kata Ya Allah Merekalah Ahlul BaitKu maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah Mereka sesuci-sucinya.
Proses inilah yang dilakukan Rasul SAW kepada siapa yang dituju sebagai Ahlul Bait dalam ayat tersebut. Oleh karena Rasul SAW tidak melakukan hal ini maka arti kata-kata “Kamu tetap pada kedudukanmu sendiri” lebih ke arah bahwa itu berarti Ummu Salamah punya kedudukan sendiri yang berbeda dengan Mereka Ahlul Kisa’. Jadi Ummu Salamah tidak bersama Mereka Ahlul Bait.
Para penentang mengajukan alasan bahwa semua itu tidak perlu dilakukan karena sudah jelas ayat tersebut untuk Istri-istri Nabi sedangkan yang dilakukan Nabi terhadap Ahlul Kisa’ karena mereka tidak tercakup dalam ayat tersebut sehingga Rasulullah SAW repot-repot melakukan ketiga hal yang dimaksud.
Perhatikan kata-kata yang dicetak tebal, itu sekali lagi menunjukkan kalau mereka lebih berpegang pada konsepsi mereka ketimbang hadis Shahih Sunan Tirmidzi di atas. Bagaimana mereka bisa tahu bahwa ayat tersebut untuk istri-istri Nabi, jika ayat tersebut bunyinya hanya Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya. Ingat Hadis Shahih Sunan Tirmidzi menyatakan bahwa bunyi ayat yang turun itu Cuma ini. Jika mereka mengatakan bahwa dari ayat sebelumnya maka sekali lagi Hadis Shahih Sunan Tirmidzi telah menyelisihi anggapan mereka seperti yang sudah dari awal kami jelaskan.
Begitu pula kata-kata Rasul SAW dan kamu dalam kebaikan, Ahlul Bait dalam Ayat Tathhir adalah keutamaan besar dan merupakan kebaikan yang sangat besar oleh karena itu Ummu Salamah berharap ikut masuk dalam ayat ini. Kata-kata dan kamu dalam kebaikan jelas tidak bisa begitu saja diartikan sebagai tanda bahwa Ummu Salamah adalah Ahlul Bait yang dimaksud karena kebaikan itu ada banyak atau dengan kata lain Menjadi Ahlul Bait yang dimaksud dalam ayat ini bukanlah satu-satunya kebaikan yang ada walaupun jelas itu adalah kebaikan yang paling besar. Apakah kata-kata dan kamu dalam kebaikan ini saja mengandung makna bahwa Ummu Salamah adalah Ahlul Bait?. Jelas tidak, dan mereka para penentang itu memahaminya begitu karena dari awal mereka sudah menetapkan bahwa Ahlul Bait pada ayat tathhir adalah Istri-istri Nabi. Konsepsi yang dari awal mereka yakini wakaupun hadis Shahih Sunan Tirmidzi diatas menyelisihi anggapan mereka.
Oleh karena itu menyatakan begitu saja bahwa kata-kata dan kamu dalam kebaikan sebagai tanda bahwa Ummu Salamah adalah Ahlul Bait merupakan klaim yang dipaksakan. Kata-kata tersebut juga dapat dipahami sebagai penolakan halus dari Nabi SAW bahwa meskipun Ummu Salamah tidak bersama mereka sebagai Ahlul Bait dalam ayat tathhir maka beliau tetaplah memiliki kebaikan tersendiri. Penafsiran ini bersandar pada kata-kata sebelumnya yang tertera dalam hadis Shahih Sunan Tirmidzi di atas.
Syubhat lain yang juga sering dijadikan dasar dalam menolak pengkhususan bahwa Ahlul Bait yang dimaksud dalam Ayat Tathhir adalah Ahlul Kisa’ adalah tidak adanya kata-kata tegas yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW menolak Ummu Salamah sebagai Ahlul Bait dalam ayat tersebut.
Perhatikan baik-baik, hadis Sunan Tirmidzi di atas menunjukkan penetapan Rasulullah SAW mengenai Siapa Ahlul Bait yang dimaksud dalam Ayat Tathhir maka kata-kata tegas yang menetapkan jelas jauh lebih diperlukan dibanding kata-kata tegas yang menolak. Bukankah jika tidak diketahui siapa Ahlul Bait yang dimaksud maka yang diperlukan adalah kata-kata yang jelas menetapkan siapa mereka dan bukan kata-kata yang jelas menolak. Mereka para penentang berkeras pada isyarat paksaan mereka karena mereka berasa lebih mengetahui duduk perkara sebenarnya dibanding Ummu Salamah Istri Nabi SAW.
Contoh nyata akan sikap ini kami lihat pada salah satu penulis Hafiz Firdaus yang ketika membahas ayat ini beliau menyatakan bahwa Ummu Salamah saat itu bertanya kepada Nabi SAW karena pada saat itu Nabi SAW belum memberitahukan ayat tersebut kepadanya sehingga ia bertanya dalam kondisi tidak tahu.
Hal ini yang kami katakan berasa lebih mengetahui dibanding Ummu Salamah RA sendiri. Syubhat Hafiz Firdaus ini jelas-jelas hanya mencari alasan. Apakah Sampai Ummu Salamah meriwayatkan hadis tersebut, beliau tetap belum diberi tahu oleh Nabi SAW?. Apa buktinya ada sesuatu yang harus diberitahukan Nabi SAW kepada Ummu Salamah?. Jangan-jangan memang tidak ada yang perlu diberitahukan Nabi SAW. Kalau memang ada, kenapa Ummu Salamah tidak mengungkapkannya dalam hadis di atas. Jika memang ayat tersebut turun untuk istri-istri Nabi SAW mengapa hal pertama yang dilakukan oleh Nabi SAW malah memanggil orang lain dan kenapa saat itu Beliau tidak memanggil istri-istrinya?. Syubhat itu justru mengundang banyak pertanyaan yang malah akan menjatuhkannya sendiri.
Berikut akan kami kemukakan hadis yang menetapkan pengkhususan bahwa Ahlul Bait dalam ayat tathhir adalah Rasulullah SAW, Sayyidah Fatimah AS, Imam Ali AS, Imam Hasan AS dan Imam Husain AS. حدثنا فهد ثنا عثمان بن أبي شيبة ثنا حرير بن عبد الحميد عن الأعمش عن جعفر بن عبد الرحمن البجلي عن حكيم بن سعيد عن أم سلمة قالت نزلت هذه الآية في رسول الله وعلي وفاطمة وحسن وحسين إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا
Telah menceritakan kepada kami Fahd yang berkata telah menceritakan kepada kami Usman bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Jarir bin Abdul Hamid dari ’Amasy dari Ja’far bin Abdurrahman Al Bajali dari Hakim bin Saad dari Ummu Salamah yang berkata Ayat {Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya} turun ditujukan untuk Rasulullah, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain.
Hadis di atas diriwayatkan oleh Abu Ja’far Ath Thahawi dalam kitabnya Musykil Al Atsar juz 1 hal 227. Hadis ini juga diriwayatkan dalam Tarikh Al Kabir Al Bukhari juz 2 biografi no 2174(disini Bukhari hanya menyebutkan sanadnya dan sedikit penggalan hadis tersebut) dan Tarikh Ibnu Asakir juz 14 hal 143.
Hadis di atas adalah hadis yang shahih dan diriwayatkan oleh para perawi tsiqat(terpercaya).
• Abu Ja’far Ath Thahawi penulis kitab Musykil Al Atsar adalah seorang Fakih dan Hafiz bermahzab Hanafi, kredibilitasnya jelas sudah tidak diragukan lagi. Dalam kitab ini Ath Thahawi membuat Bab khusus yang menerangkan tentang Ayat Tathhir. Beliau membawakan beberapa riwayat yang berkaitan dengan ini dan kesimpulan dalam pembahasan beliau tersebut adalah Ayat Tathhir khusus untuk Ahlul Kisa’ saja.
• Fahd, Beliau adalah Fahd bin Sulaiman bin Yahya dengan kuniyah Abu Muhammad Al Kufi. Beliau adalah seorang yang terpercaya (tsiqah) dan kuat (tsabit) sebagaimana dinyatakan oleh Adz Dzahabi dalam Tarikh Al Islam juz 20 hal 416 dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Ibnu Asakir juz 48 hal 459 no 5635.
• Usman bin Abi Syaibah adalah perawi Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah. Dalam Kitab Tahdzib At Tahdzib juz 7 biografi no 299, Ibnu Main berkata ”ia tsiqat”, Abu Hatim berkata ”ia shaduq(jujur)” dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat.
• Jarir bin Abdul Hamid, dalam Kitab Tahdzib At Tahdzib juz 2 biografi no 116 beliau telah dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Main, Al Ajli, Imam Nasa’i, Al Khalili dan Abu Ahmad Al Hakim. Ibnu Kharrasy menyatakannya Shaduq dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat.
• Al ’Amasy adalah Sulaiman bin Mihran Al Kufi. Dalam Tahdzib At Tahdzib juz 4 biografi no 386, beliau telah dinyatakan tsiqat oleh Al Ajli, Ibnu Main, An Nasa’i dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat.
• Ja’far bin Abdurrahman disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam At Ta’jil Al Manfaah juz 1 hal 387 bahwa Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Imam Bukhari menyebutkan biografinya dalam Tarikh Al Kabir juz 2 no 2174 seraya mengutip kalau dia seorang syaikh wasthun(guru dan tengah) tanpa menyebutkan cacatnya. Disebutkan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat juz 6 no 7050 bahwa ia meriwayatkan hadis dari Hakim bin Saad dan diantara yang meriwayatkan darinya adalah Al ’Amasy.
• Hakim bin Sa’ad, sebagaimana disebutkan dalam Tahdzib At Tahdzib Ibnu Hajar juz 2 biografi no 787 bahwa beliau adalah perawi Bukhari dalam Adab Al Mufrad, dan perawi Imam Nasa’i. Ibnu Main dan Abu Hatim berkata bahwa ia tempat kejujuran dan ditulis hadisnya. Dalam kesempatan lain Ibnu Main berkata laisa bihi ba’sun(yang berarti tsiqah). Al Ajli menyatakan ia tsiqat dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat.
Jadi sudah jelas bahwa hadis di atas sanadnya shahih dan para perawinya tsiqat(terpercaya). Hadis tersebut menjadi bukti yang jelas bahwa Ayat Tathhir Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan menyucikanmu sesuci-sucinya turun untuk Rasulullah SAW, Sayyidah Fatimah AS, Imam Ali AS, Imam Hasan AS dan Imam Husain AS. Dan hadis ini juga menjadi bukti yang menguatkan kalau Hadis Sunan Tirmidzi mengandung makna bahwa Ahlul Bait dalam Ayat Tathhir adalah Ahlul Kisa’ saja.   


Munajat ahlul bayt

Malam sudah larut, dinihari sudah hampir, angin dingin sahara berhembus dalam kesepian. Bukit2 batu, rumah2 tanah, pepohonan semua tak bergerak; berdiri kaku dalam rangkaian silhuet. Tapi ditengah Masjidil Haram, seorang pemuda berjalan mengitari ka’bah sambil bergantung pada tirainya. Matanya menatap langit yang sunyi. Tak seorang pun berada disitu, kecuali Thawus Al-Yamani, yang menceritakan peristiwa ini kepada kita.
Thawus mendengar pemuda itu merintih:
Tuhanku, gemintang langit-Mu telah tenggelam
Semua mata makhluk-Mu telah tertidur
tapi pintu-Mu terbuka lebar, buat pemohon kasihmu.
Aku datang menghadap-Mu memohon ampunan-Mu
kasihilah daku
perlihatkan padaku wajah kakekku Muhammad SAAW pada mahkamah hari kiamat. (kemudian ia menangis)
Demi kemuliaan dan kebesaran-Mu Maksiatku tidaklah untuk menentang-Mu
Kala kulakukan maksiat kulakukan bukan karena meragukan-Mu
bukan karena mengabaikan siksa-Mu
bukan karena menentang hukum-Mu
Kulakukan karena pengaruh hawa nafsuku
dan karena Kau ulurkan tirai untuk menutub aibku.
Kini siapakah yang akan menyelamatkan aku dari azab-Mu
kepada tali siapa aku akan bergantung,
kalau Kau putuskan tali-Mu malang nian daku
kelak ketika bersimpuh dihadapan-Mu
kala si ringan dosa dipanggil : jalanlah! kala siberat dosa dipanggil : berangkatlah!
Aku tak tahu apakah aku berjalan dengan si ringan atau dengan si berat.
Duhai celakalah aku bertambah umurku dan bertumpuk dosaku
tak sempat aku bertobat kepada-Mu
sekarang aku malu menghadap pada-Mu. (ia menangis lagi)
Akankah Kaubakar aku dengan api-Mu wahai Tujuan segala kedambaan lalu,
kemana harapku kemana cintaku
Aku menemui-Mu dengan memikul amal buruk
dan hina diantara segenap makhluk-Mu tak ada orang sejahat aku. (ia menangis lagi)
Mahasuci Engkau
Engkau dilawan seakan-akan engkau tiada
Engkau tetap pemurah seakan-akan Engkau tak pernah dilawan
Engkau curahkan kasih-Mu kepada makhluk-Mu seakan-akan Engkau memerlukan mereka
padahal Engkau wahai Junjunganku tak memerlukan semua itu. (Kemudian ia merebahkan diri bersujud)
Thawus bercerita: Aku dekati dia. Aku angkat kepalanya dan kuletakan pada pangkuanku. Aku menangis sampai airmataku membasahi pipinya. Ia bangun dan berkata, “Siapa yang menggangu dzikirku?” Aku berkata, “Aku Thawus, wahai putra Rasulullah. Untuk apa segala rintihan ini? Kamilah yang seharusnya berbuat seperti ini, karena hidup kami bergelimang dosa. Sedangkan ayahmu Husain bin Ali, ibumu Fathimah Az-Zahra dan kakekmu Rasulullah SAAW. Ia memandangku seraya berkata,”Keliru kau Thawus. Jangan sebut-sebut perihal ayahku,ibuku dan kakekku. Allah menciptakan surga bagi yang menaati-Nya dan berbuat baik, walaupun ia budak dari Habsyi. Ia menciptakan neraka buat yang melawan-Nya walaupun ia bangsawan Qurasy. Tidakkah engkau ingat firman Allah-Ketika sangakala ditiup, tidaklah ada hubungan lagi diantara mereka hari itu dan tidak saling tolong-menolong. Demi Allah esok tidak ada yang bermanfaat selain amal shaleh yang telah engkau lakukan.”
Yang diceritakan Thawus dalam riwayat ini tidak lain Imam Ali Zainal Abidin as. Imam keempat dalam rangkaian imam Ahli Bait Al-Mushtafa yang terkenal sebagai As-Sajjad, yang banyak bersujud. Doa-doanya dikumpulkan dalam ah-Shahifah As-Sajjadiyah; berisi kalimah-kalimah yang indah dan mengharukan. berbeda dengan doa doa yang biasa kita ucapkan, doa-doa As-Sajjad lebih merupakan ‘percakapan ruhaniyah’ dengan Allah SWT.
Doa-doa yang biasa kita baca biasanya berisi perintah2 halus kepada Allah SWT seperti “ya Allah, berilah daku rizki, panjangkan usiaku, naikkan pangkatku, dll”. Doa diatas berisi kesadaran akan kehinaan diri dan kemuliaan Allah, kemaksiatan diri dan kasih sayang Allah. Doa-doa As-Sajjad lebih mirip rintihan ketimbang permohonan. Kalimah-kalimahnya lebih mirip hubungan cintakasih antara hamba dengan Tuhan, ketimbang hubungan kekuasaan.
Ada dua cara memandang Tuhan. Kita dapat memandang Dia sebagai Zat yang jauh dari kita, berbeda sama sekali dengan kita,memiliki sifat mukhalafat lil-hawadits, mempunyai jarak dengan makhluk-Nya. Inilah Tuhan transenden dalam pandangan para filsuf dan ahli kalam. Kita juga dapat melihat Dia sebagai Zat yang lebih dekat dengan kita dari urat leher kita, selalu beserta kita, kemanapun wajah kita menghadap, disitulah wajah Allah berada. Inila Tuhan yang immanen dalam pandangan para wali-Nya. Inilah Tuhan dalam pandangan Ahli Bait. Inilah Tuhan dalam doa Ahli Bait.
Jika para filsuf berkata “Agama itu akal, tiada agama bagi orang yang tiada akal”, maka Imam Baqir as (Imam kelima Ahli Bait) berkata “Agama itu cinta, dan cinta itu agama.” Bila para filsuf sibuk menajamkan akalnya untuk menjelaskan sifat-sifat Tuhan (dan dipastikan mereka akan pusing), maka para Imam Ahli Bait membimbing para pengikutnya untuk membersihkan hatinya agar dapat menyaksikan keindahan-keindahan sifat Tuhan. Tujuan para filsuf adalah makrifat (pengenalan), dan tujuan Ahli Bait Al-Mushtafa adalah mahabbat (cinta). Pernah seorang darwis (sufi) bertanya kepada Imam Ali as berkenaan dengan derajat para pecinta-Nya. Beliau as berkata,” Derajat kecintaan paling rendah ialah memandang kecil ketaatanya dan memandang besar dosanya. Ia mengira tidak ada orang disiksa seperti dia baik didunia maupaun diakhirat.” Mendengar itu sang darwis pun pingsan. Ketika sadar lagi, ia bertanya,”Adakah derajat-derajat lain diatas itu.” Imam Ali as menjawab, “Ada. tujuh puluh derajat lagi.” Perjalanan beragama sesungguhnya tidak lain dari perjalanan seorang hamba menggapai derajat demi derajat itu, sampai ke derajat yang paling dekat dg Dia. Dalam seluruh perjalannya itu, cinta Allah menjadi sumber energinya. Imam Ali as melukiskan cinta kepada Allah dengan indahnya : Cinta kepada Allah itu laksana api apapun yang dilewatinya akan terbakar. Cinta kepada Allah itu laksana cahaya apapun yang dikenainya akan bersinar. Cinta kepada Allah itu langit apapun yang dibawahnya akan ditutupnya. Cinta kepada Allah itu laksana angin apapun yang ditiupnya akan digerakkannya. Cinta kepada Allah itu laksana air dengannya Allah menghidupkan segalanya. Cinta kepada Allah itu laksana bumi dari situ Allah menumbuhkan segalanya. Kepada siapa yang mencintai Allah, Dia berikan kekuasaan dan kekayaan.
‘Al-Mulk’ (kekuasaan) dan ‘al-milk’ (kekayaan) diberikan Allah kepada kekasih-Nya. Kata lain kekuasaan adalah ‘wilyah’, yang juga berarti kecintaan. Mazhab Ahli Bait ditegakkan diatas prinsip wilayah : Kekuasaan hanya boleh dipegang oleh orang-orang yang dicintai Allah. Imam Ali as adalah waliyullah. ke-waliyannya tidak diragukan lagi. Dia dicintai Allah, maka Rasulullah SAAW (sholallahu ‘alaihi wa alihi wassalim) pun sangat mencintainya.
Ummul mukminin ‘Aisyah menceritakan saat-saat terakhir Rasulullah SAAW. Beliau SAAW berkata “Panggilkan kekasihku.” Orang2 memanggil Abu Bakar. Beliau hanya memandang kepadanya dan meletakkan kepalanya lagi. Beliau berkata lagi,”Panggilkan kekasihku.” Orang2 memanggil Umar. beliau memandangnya dan meletakkan kepalanya. Beliau berkata ,”Panggilkan kekasihku.” Orang-orang memanggil Ali. Ketika Nabi SAAW melihat Ali, beliau memasukkan Ali keselimutnya. Tiada henti-hentinya Rasulullah SAAW memeluk Ali hingga menghembuskan nafasnya yang terakhir dan tangan beliau berada diatas tangannya.
Secara terbuka Nabi SAAW mengumumkan bahwa Ali adalah orang yang mencintai Allah dan dicintai Allah. “Besok akan kuserahkan bendera ini kepada orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dan dicintai Allah dan Rasul-Nya. Allah akan memberikan kemenangan kepadanya,” kata Rasuullah SAAW pada perang Khaibar. Bendera itupub diserahkan kepada Imam Ali.
Anas bin Malik, khadam Rasulullah SAAW bercerita: Nabi SAAW mendapat hadiah daging burung. Beliau berdoa,” ya Allah, datangkanlah orang yang paling Engkau cintai supaya ia makan burung ini bersamaku.” Kemudian datanglah Ali. “Aku tolak dia.” kata Anas.Ia datang lagi, dan kutolak lagi. Ia datang lagi dan kutolak lagi. Ali masuk pada ketiga atau keempat kalinya. Nabi SAAW berkata kepadanya,”Apa yang menahanmu untuk datang kepadaku?” Ali menjawab,”Demi Yang Mengutusmu dengan hak sebagai Nabi. Aku mengetuk pintu tiga kali, tapi Anas selalu menolaknya.” (at-Turmudzi)
Perjalanan menuju kecintaan kepada Allah harus dimulai dengan mencintai Rasulullah SAAW, manusia yang paling dicintai Allah SWT. Tapi sebelum memasuki kecintaan kepada Rasulullah SAAW, kita harus mencintai orang yang paling dicintai Rasulullah SAAW (sebuah logika yang logis). Bukankan Nabi SAAW pernah berdoa,”Cintailah Allah atas nikmat-Nya kepadamu. Cintailah aku karena kecintaan kepada Allah. Dan cintailah Ahli Baitku karena kecintanmu kepadaku.” Allah berfirman,”Katakanlah (olehmu Muhammad) aku tidak meminta upah dari kalian kecuali kecintaan kepada keluargaku.” (Al-Quran)
Pintu pertama untuk mencintai Allah adalah mencintai Ahli Bait Nabi. Tidak perlu disebutkan lagi bahwa Nabi SAAW tentu saja adalah orang yang paling mencintai Allah. Beliau-lah pembawa risalah. Seluruh hidupnya merupakan bagian tak terpisakan dari Firman Tuhan. Untuk memasuki kota Nubuwwah, kita harus me- masuki pintunya. Dan pintu itu adalah kecintaan kepada Imam Ali as. Lewatnya lah kita bisa mengetahui ciri-ciri orang munafik. “Tidak mencintai-mu,hai Ali, kecuali orang mukmin. Dan tidak membencimu kecuali orang munafik.” Sabda Rasulullah SAAW (Shahih Muslim). Tidak mengherankan kalau kecintaan kepada Ahli Bait telah mempersatukan kaum muslimin, apapun mazhabnya.
Al-Zamakhsyari, sufi pengikut mazhab mu’tazilah menggubah puisi dengan sangat indahnya:
Sudah banyak kebimbangan dan ikhtilaf
Semua menyatakan mazhabnya yang paing benar.
Kupegang teguh kalimah ‘La ilaha illallah’
dan kecintaan kepada Ahmad dan Ali.
Beruntung Anjing karena mencintai Ashhabul Kahfi
mana mungkin aku celaka karena mencintai keluarga Nabi.
Imam Syafi’i juga memberikan hujjahnya tentang kecintaanya kepada Ahli Bait Nabi dengan puisinya: Wahai Ahli Bait Rasulullah, kecintaan kepadamu Allah wajibkan atas kami dalam Al-Quran
yang diturunkan Cukuplah tanda kebesaranmu tidak sah sholat tanpa salawat kepadamu.
Kecintaan kepada Imam Ali as secara khusus dan kecintaan kpd Ahli Bait secara umum adalah dasar utama untuk mencintai Allah dan Rasul-ya. Karena seluruh alam semesta ini sebetulnya bergerak menuju Allah untuk meraih kecintaan-Nya, maka Allah mewajibkan kecintaan kepada Allah bagi semuanya. Boleh jadi riwayat Anas bin Malik ini harus dipahami seara metaforis. Pada suatu hari Imam Ali as memberi Bilal satu dirham untuk membeli semangka. Ketika semangka itu dibelah, dan mereka makan sedikit dan terasa pahit. Imam Ali as berkata,”Kembalikan semangka ini kepada penjualnya. Rasulullah SAAW pernah bersabda “Sesunggunya Allah mewajibkan manusia, pepohonan, buah-buahan, biji-bijian untuk mencintaimu. Siapa yang memenuhi perintah mencintaimu, ia akan menjadi bagus dan manis. Siapa yang tidak mencintaimu, ia akan menjadi buruk dan pahit. Aku kira semangka ini termasuk yang menolak mencintaiku.”
Mazhab Ahli Bait memilih perjalanan mereka kekota ilmu Rasulullah SAAW dan seterusnya keistana kecintaan Allah, melalui pintu kecintaan kepada Imam Ali as. mengapa? karena Imam Ali dan Ahli Baitnya memberikan cara mencintai Allah dan Rasul-Nya dengan seluruh perilakunya. Imam Ali lah sebagai gurunya fikih para Imam mazhab empat. Dari Imam Ali turun kepada Muhammad Al-Hanafi (putranya) dan Abdullah bin Abbas. Dari keduanya lahir pula Imam Hanafi dan seterusnya Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali. Imam Ali as pula sebagai gurunya para Sufi. Dari beliau as lahir pribadi macam Imam Husain as, Imam Ja’far as, dan Hasan Al-Basri. Tidak pelak lagi ketiganya adalah pendekar2 dalam bidang tasawuf. Dari Imam Ali dan kemudian dari para Imam Ahli Bait Al-Mushtafa, kita belajar mencintai Allah dan Rasul-Nya. Mereka adalah bintang yang memberikan keamanan kepada penduduk bumi. Mereka adalah perahu nabi Nuh as, siapa yang menaikinya akan selamat,dan siapa yang meninggalkannya akan tenggelam (al-Hakim). Mereka adalah salah satu dari dua pusaka, siapa yang berpegang teguh kepadanya tidak akan tersesat. Terakhir, mari kita lihat salah satu doa dari Imam Ali as yang juga sama indah nya dengan doa-doa Imam Ali as lainnya.
ya Allah, Junjunganku, Pelindungku, Tuhanku Sekiranya aku dapat bersabar menanggung siksa-Mu, mana mungkin aku mampu bersabar berpisah dari-Mu. dan Sekiranya aku dapat bersabar panas api-Mu, mana mungkin aku dapat bersabar untuk tidak melihat kemulian-Mu. mana mungkin aku tinggal neraka padahal harapanku hanya maaf-Mu.
Demi kemulian-Mu wahai Junjunganku dan Pelindungku, aku bersumpah dengan tulus, Sekiranya Engkau biarkan aku berbicara disana, ditengah penghuninya, aku akan menangis tangisan mereka yang menyimpan harapan aku akan menjerit jeritan mereka yang menyimpan pertolongan aku akan merintih rintihan rang yang kehilangan.
Sungguh, aku akan menyeru-Mu dimanapun Engkau berada Wahai pelindung kaum mukminin Wahai Tujuan harapan kaum arifin Wahai Pelindung kaum yang memohon perlindungan Wahai Kekasih kalbu para pecinta kebenaran Wahai Tuhan seru sekalian Alam.Oleh: Jalaluddin Rakhmat