Kamis, 11 November 2010

Menelanjangi HAM AS di PBB

Tanggal 5 November dapat dikatakan sebagai hari penting dalam sejarah pengkajian kondisi hak-hak asasi manusia di dunia oleh PBB. Sebab, AS yang disebut-sebut sebagai negara terbesar yang mengklaim pembela hak asasi manusia, terpaksa harus melaporkan laporan terkait hak asasi manusia. Di sidang itu, para wakil pemerintah AS menuai kritikan dari berbagai negara dan lembaga atas pelanggaran hak asasi manusia Washington di dalam dan luar negeri. AS yang biasanya menggunakan propaganda media menyerang pelanggaran hak asasi manusia negara-negara independen, kini terbalik menjadi sasaran serangan dan kritikan pelanggaran hak asasi manusia. Pengkajian akan kondisi hak asasi manusia di AS adalah bagian kegiatan dan proses yang dilakukan Dewan Hak Asasi Manusia PBB untuk seluruh negara di dunia. Tim yang melakukan pengkajian itu dinamakan Universal Periodic Review (UPR). Keputusan itu ditetapkan bulan Maret 2006. Hingga kini, UPR sudah memeriksa dan mengkaji kondisi hak asasi manusia bagi ratusan negara. Negara-negara itu juga menjelaskan dan mempertanggungjawabkan kondisi hak asasi manusia masing-masing depan UPR.
Pada dasarnya, AS sejak awal, sudah menolak diubahnya Komisi Hak Asasi Manusia ke Dewan Hak Asasi Manusi. Bahkan Washington memberikan suara negatif atas pembentukan Dewan baru itu. Akan tetapi pada akhirnya, AS harus menerima pembentukan itu dan terpaksa harus menyampaikan laporan hak asasi manusia ke Dewan itu. Menurut sejumlah kalangan garis keras AS, khususnya di tubuh Partai Republik, penyampaian laporan hak asasi manusia AS ke UPR adalah penghinaan bagi bangsa AS. Mereka meyakini bahwa AS merupakan tauladan yang baik bagi penerapan hak asasi manusia di dunia. Untuk itu, laporan hak asasi manusia AS yang menuai kritikan dari berbagai negara dan lembaga, membuat negara ini dipermalukan depan masyarakat dunia.
Klaim AS
Sejumlah pejabat AS menilai negara-negara Barat khususnya AS sebagai tauladan yang tepat bagi penerapan Piagam Hak Asasi Manusia yang disusun berlandaskan ideologi liberalisme. Berdasarkan klaim ini, hak asasi manusia AS tidak seharusnya dipermasalahkan. Bagi Washington, negara-negara di dunia kecuali AS, berkewajiban melaporkan kondisi hak asasi manusia yang kemudian disesuaikan dengan hak asasi manusia liberal. Untuk itu, AS ketika menyampaikan laporan hak asasi manusia, tidak memahaminya sebagai kewajiban yang harus dilakukannya.
AS menyadari bahwa laporan hak asasi manusia akan menuai kritik luas dari berbagai negara dan lembaga. Untuk itu, negara ini tetap melaporkan sejumlah pelanggaran terhadap warga yang dianggapnya enteng. Pada saat yang sama, AS ingin menekankan bahwa negara ini tetap berkomitmen dengan hak asasi manusia. Dengan cara itu, AS tetap bisa mengklaim sebagai negara yang berpengaruh pada hak asasi manusia di dunia.
Di sidang pengkajian kondisi hak asasi manusia AS di UPR, banyak negara yang ingin menyampaikan kritikan atas hak asasi manusia AS, namun hanya 47 negara yang dapat menyampaikan kritikan atas Negeri Abang Sam ini. Selain itu, laporan Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia yang diambil dari pandangan dan laporan 103 lembaga swadaya masyarakat dan institusi. Di antara instansi yang mengkritik hak asasi manusia AS adalah 77 lembaga dari dalam negeri AS. Semua ini menunjukkan bahwa hak asasi manusia tidak diperhatikan di dalam negeri AS. Semua lembaga yang sebagian besar berasal dari AS memprotes kondisi hak asasi manusia Negeri Abang Sam dan mengadukannya ke Dewan Hak Asasi Manusia.
Laporan Manfred Nowak, pelapor khusus PBB terkait penyiksaan, termasuk laporan yang urgen. Dalam laporan itu disebut bahwa AS terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia yang terorganisir. Nowak juga mengkawatirkan pelanggaran hak asasi manusia dalam skala luas seperti penyiksaan para tahanan, kekerasan aparat kepolisian, diskriminasi dan penelantaran hak-hak atas kelompok minoritas khususnya ummat Islam.
5 November, Noktah Hitam AS
Para wakil negara di sidang yang digelar pada tanggal 5 November mengisyaratkan pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia AS. Salah satu wakil yang menyampaikan pelanggaran hak asasi manusia adalah Zohreh Ilahiyan, salah satu wakil dari Republik Islam Iran. Dalam pernyataannya, Zohreh Ilahiyan menuntut Washington supaya menjamin hak-hak warga Indian dan memperhatikan deklarasi PBB yang menegaskan hak-hak pribumi. Suku Indian adalah warga asli Amerika yang tersisa ribuan orang dari puluhan juta warga AS.
Selain itu, ada warga kulit hitam yang juga komunitas minoritas di AS. Mereka seringkali mendapat perilaku diskriminatif dan kekerasan di negara ini. Berdasarkan data yang ada, jumlah warga kulit hitam di AS mencapai sepersepuluh dari warga kulit putih di negara ini. Akan tetapi jumlah tahanan kulit hitam di AS berkali-kali lipat lebih banyak dari tahanan kulit putih. Ini semua menunjukkan tidak beresnya sistem di negara ini yang mengenyampingkan hak-hak minoritas.
Tak dipungkiri bahwa banyak negara yang menelantarkan hak-hak asasi dan mendapat kritikan dari berbagai pihak. Akan tetapi tidak ada negara seperti AS yang mempunyai pelanggaran hak asasi manusia dalam skala besar yang melebar ke seluruh dunia. Untuk itu, bukanlah hal yang mengherankan, jika banyak wakil negara di dunia pada sidang Dewan Hak Asasi Manusia PBB mengkritik pelanggaran hak asasi manusia AS dan mengadukannya ke lembaga internasional ini. Meski demikikan, AS masih tidak tahu malu bahkan mengklaim diri sebagai negara yang menjaga hak asasi manusia di dunia. Inilah kepongahan Negeri Abang Sam ini!!!
HAM Versi AS
Pembangunan penjara-penjara AS di berbagai negara dunia menjadi sorotan utama para wakil negara di Sidang UPR. Sebab, pelanggran semacam ini hanya dilakukan oleh AS. Valery Loshinin, wakil Rusia di Kantor PBB Jenewa mengatakan, "Rusia mengharapkan AS dapat melakukan investigasi serius dan detail terkait penyiksaan para tahanan di penjara-penjara rahasia AS seperti di Begram dan Guantanamo." Lebih dari itu, Rusia dan Cina secara kompak menyatakan bahwa AS harus segera menutup penjara-penjara yang digunakan untuk para tahanan yang diduga teroris.
Masih mengenai penjara-penjara AS di luar negeri, Barak Obama dalam kampanyenya sebelum menjadi Presiden AS, juga menjanjikan akan menutup penjara-penjara rahasia negaranya. Tuntutan penutupan penjara menakutkan seperti Guantanamo juga ditegaskan berbagai negara, termasuk Perancis yang juga mitra dekat AS. Dengan demikian, penyiksaan para tahanan di penjara-penjara rahasia AS sudah menjadi rahasia umum yang sama sekali tidak dapat ditutupi.
Kebrutalan AS terhadap para tahanan juga diungkap dengan data lengkap yang disertai dengan gambar dan rekaman video. Meski demikian, AS tetap menolak data-data yang terlanjut terungkap di media-media dunia. Penasehat Hukum Departemen Luar Negeri AS, Harold Koh, dengan lantang menyatakan, " Ketahuilah bahwa AS sama sekali tidak melakukan penyiksaaan terhadap para tahanan."
Manfred Nowak meminta Washington supaya menginvestigasi kasus penyiksaan dan data-data yang dipublikasikan oleh Wikileaks. Data yang disebutkan situs Wikileaks menyebutkan bahwa 285 ribu warga tewas dan terluka. Menurut data itu, 63 persen dari jumlah seluruh korban adalah warga sipil.
Setiap tahun, Departemen Luar Negeri AS mengeluarkan laporan-laporan terkait pelanggaran hak asasi manusia. Bahkan Negeri Abang Sam ini juga menyebut hukuman eksekusi sebagai praktik yang keliru di sejumlah negara. Akan tetapi uniknya, AS sendiri menerapkan hukuman itu, bahkan beberapa waktu lalu, perempuan yang mengalami gangguan jiwa dijatuhi hukuman eksekusi di negara ini.
Yang lebih menarik lagi, para pembicara di sidang Dewan Hak Asasi Manusia PBB menuntut AS supaya bergabung dalam berbagai traktat yang yang dapat menekan pelanggaran hak asasi manusia di negara ini. Mereka menghendaki AS supaya bergabung dalam Konvensi Hak-Hak Anak, Perempuan dan Imigran di PBB. Yang lebih unik lagi, AS hingga kini tidak bersedia bergabung dalam Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) yang bertanggung jawab atas kriminalitas perang di dunia. Jika bergabung, Washington bisa diadukan sebagai penjahat perang. Karena inilah AS tidak bersedia bergabung dalam ICC.
Mengingat pelanggaran luas hak asasi manusia di AS yang juga dikaji dalam sidang Dewan Hak Asasi Manusia PBB, maka klaim AS terkait hak asasi manusia hanyalah standar ganda. Para analis menilai bahwa klaim-klaim semacam ini sengaja dikembangkan AS sehingga negara ini terbebas dari tudingan pelanggaran hak asasi manusia . Melempar batu sembunyi tangan.
Bukanlah hal yang mengherankan, jika para pejabat AS spontan menolak tudingan pelanggaran hak asasi manusia di negara mereka. Yang jelas, Washington mempunyai kesempatan tiga bulan untuk menjawab berbagai pelanggaran hak asasi manusia di negaranya kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB dan UPR. Akan tetapi AS tetaplah AS yang hingga kini tetap menolak fakta dan menutup mata semua tuntutan yang ada. Bahkan sejumlah anggota Kongres meminta AS supaya keluar dari keanggotaan Dewan Hak Asasi Manusia PBB yang kini menjadi ganjalan bagi AS. Kondisi ini membuat AS kian dikenal sebagai pelanggar hak asasi manusia nomor wahid di dunia. Tidaklah salah bila Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam Iran atau Rahbar, Ayatollah Al-Udzma Sayid Ali Khamenei, pekan lalu, sambil mengingatkan ucapan kepala-kepala negara AS di pelbagai periode yang tampak lahiriahnya bersahabat seraya mengatakan, "Sekalipun ucapan itu lunak secara lahiriah, tapi batinnya sama dengan serigala yang berbulu domba." (IRIB/AR/SL)
 

0 komentar:

Posting Komentar